Ingin Cerita : 1% dari Fian

Teman SMA ku, (Susvika)  pernah bilang sesuatu yang membekas sampai sekarang, “Kalau berharap sama manusia akan selalu kecewa, maka lebih baik berharap dengan Pencipta kita”. Lalu semuanya menjadi menyatu dalam pikiranku, apa yang aku rasakan selama ini benar. Terlalu banyak menggantungkan harapan pada manusia, terlalu sering berekspektasi seseorang akan melakukan hal yang aku inginkan namun hasilnya berakhir kecewa. Apa ini penyebabnya? Aku mencoba untuk tidak ingin melukai perasaan dengan tidak berharap pada siapapun sampai hopeless, pasrah dan menghardik diri.


Dalam hati, aku selalu lelah berkata “Iya” dan takut untuk menolak karena tidak mau menyakiti orang lain, istilahnya tidak enakan. Hasilnya, aku lelah dan kecewa pada diri sendiri. Self-loathing seperti makanan setiap hari, merasa diri ini tidak pernah cukup untuk siapapun, merasa diri ini tidak baik untuk siapapun, merasa diri ini tidak bisa membantu / menolong sepenuhnya. Mencaci-maki diri saat bercermin itu seperti kegiatan rutin tiap pagi, merasa takut pada pandangan orang lain atas apa adanya aku, takut hanya menjadi teman yang membosankan dan tidak menghibur temannya, takut tidak bisa menjadi orang yang ada pada saat teman membutuhkan, aku selalu merasa ingin menjadi penolong untuk siapapun, tapi aku pun tidak pernah bisa menjadi pahlawan untuk diri sendiri.


Sometimes, I just want to disappear for awhile and try to cure the pain but I never truly healed. Ketika seperti ini, aku mencoba mengalihkan bukan menyembuhkan karena aku tau.. Butuh waktu untuk menyembuhkan luka dan tiap individu itu berbeda dalam problem solving juga facing the pain. Aku tidak mencoba untuk menuangkan apa yang aku rasa pada kertas dan cat warna-warni seperti dulu, melihat karya-karya lama ku yang lahir dari keterpurukan dan rasa insecure, saat melihatnya aku makin merasa sedih, makin lama aku makin tertutup dengan diri sendiri padahal prinsip dalam berkarya ku adalah “gunakan hati” namun nampaknya aku pun tak punya hati untuk menyelamatkan diri.


Aku sedang memaksakan diri untuk membaca, dari artikel ke buku. Selalu merasa bodoh ketika diajak ngobrol mengenai suatu topik lalu aku hanya bengong karena tidak paham, bertanya pun malu. Mulai membaca artikel dengan isu-isu yang tidak asing dengan pengalaman hidup ku, walau malas tapi ada rasa penasaran mengenai hal yang selama ini aku resahkan lalu dibahas dalam satu artikel singkat dan padat. 


Aku ingin membaca sesuatu yang membangkitkan diri, bukan yang “toxic positivity” dimana memberikan semangat namun malah sebaliknya. Aku selalu merasa kesehatan mental itu sangat perlu diperhatikan, untungnya Mental Health issues menjadi concern WHO. Setelah membaca mengenai hal itu, aku ingin menjadi pendengar yang baik, terkadang orang hanya ingin didengarkan keluh kesahnya, lalu apa salahnya kalau hanya meminjamkan telinga kita untuk mereka? Walau tidak memberikan saran, semoga dengan mendengarkan curhatannya membantu sedikit melegakan perasaannya.


Lalu aku berbincang dengan Fian, aku ingin setidaknya mengalihkan kondisi ku ini sebentar, ingin mendengar cerita &  pengalaman baru dari siapapun.


Awal pembicaraan kami mulai dari kucing yang ia pelihara, hati mana yang tega kalau melihat stray cat pasti ada keinginan membawa dan merawatnya. Ia berkata 

“Kadang terpikirkan sesuatu yaitu manusia makhluk egois dengan binatang sekalipun, kita bisa menentukan dengan enaknya bahwa kalau itu binatang bersama kita lalu mereka akan lebih baik padahal belum tentu juga.” 

“Perbandingannya kita hidup di kota dibawa ke hutan yang katanya kondisi alamnya lebih baik.” tambahnya.

Aku masih memproses apa yang ia katakan. Aku mencoba melanjutkan obrolan, 

“Memang manusia adalah makhluk egois dan predator paling berbahaya. Kita kembalikan ke niat awal merawat kucing”

“Kadang niat baik kita juga gak serta merta jadi baik untuk orang lain. Kadang kita lupa memperhatikan sebelum memberi kebaikan.” Kalimat singkat, padat dan jelasnya  membuat ku merasa cerminan kondisiku saat ini

Society itu toxic. Terlalu memikirkan apa kata orang malah mengikis harapan” ujarku

“Terlalu memikirkan apa diri kita sendiri juga” lanjutnya.


Aku disitu menemukan kunci bahwa kita harus bisa seimbang, namun kenyataannya hidup kita tidak mudah untuk  seperti itu. 

Ibarat kan “Kita boleh peduli dan empati pada orang lain namun diri kita pun jangan dilupakan, terlalu egois pun buruk”.


Tiba-tiba ia bertanya

“Kamu pernah berurusan dengan mental health?”

Topik obrolan mulai beranjak ke isu yang memang aku sedang baca dan pahami, memang mental health jadi concern aku dari lama namun ketika ia bertanya tentang itu aku merasa ditodong.

“Sedang berurusan malah, memang mental health itu salah satu perhatian WHO apa lagi kesehatan lingkungan. Kalau kamu gimana?” jawabku 

Teman ku ini sepertinya straightforward, ia langsung menjawab

“Dua kali aku dinyatakan depresi, satu ringan  dan satu berat, sampe sakit-sakit yang lain, sampe kalau makan hambar selama 3 bulan kurang lebih” 

Aku langsung bengong karena baru kali ini ada yang sangat kuat sampai mau menceritakan hal yang menurutku itu adalah luka.

“Cuma entah beruntung atau enggak, aku gak pernah sadar kalau lagi stress” tambahnya

Jujur, aku speechless karena itu adalah kata-kata yang aku ingin ungkapkan selama ini ke tapi takut dijudge. Karena aku takut kalau obrolan ini akan mengungkit atau mengingatkan yang menurutku adalah luka, aku bilang tidak mau nanya terlalu dalam takutnya itu privasi dia. Dan aku menambahkan perspektif ku, ketika society mengekang kita untuk selalu keep fighting, semangat terus, jangan sedih, jangan marah, terus senyum, alam bawah sadar kita percaya bahwa merasakan hal-hal yg berlawanan dengan expectation of society itu salah.

Lalu aku mencoba menguatkannya.


Dia bercerita bahwa pada saat SMP sering ke dokter psikologi anak dan tahun lalu kambuh, ia sampai menyebutkan dimana dan siapa dokter yang menanganinya. Ia bersyukur punya skema bertahan hidup yang bisa mengatasi hal itu, untungnya adalah orang tuanya sangat mendukung terutama ibunya karena beliau sudah notice akan hal ini dan tau cara yang tepat untuk membesarkan Fian. 

Lalu ia mengucapkan satu kalimat yang men trigger ku lagi 

“Makin lama makin ngeh kalau issue aku itu identik sama mati.”

Seperti bergema kalimat itu di benak ku.

“Kesimpulan yang bagus menurutku karena jarang orang tua yang concern dengan mental health” kataku sambil memberikan kalimat penguat karena saling menguatkan itu adalah hal sederhana yang bisa dilakukan, bukan toxic positivity. Pokoknya mental health memang harus dibahas” ujarku

Aku bertanya lagi apa pembahasan ini nyaman untuk dijadikan bahan obrolan, dia menjawab tidak apa-apa kalau mau membahas ini. Ada satu hal yang ia paling syukuri adalah kedua orang tuanya dalam agama kuat dan seimbang dengan ilmu pengetahuan juga, ia menyebutkan bahwa kalau ada permasalahan seperti ini orang tua pun lebih mudah menanganinya.

Ku harap makin banyak orang tua yang seperti orang tuanya. Balance agama dengan ilmu pengetahuan.

 

Masih diajak berlari menelusuri ceritanya, nampaknya aku tak siap dengan yang satu ini. Setelah chattingan panjang lebar, kami beranjak ke telepon.


Ia dengan santainya bilang kalau ia pernah mencoba untuk “free diving” disalah satu atap gedung yang berada di kota namun dia hanya tertawa dan aku mengucap terimakasih kepadanya karena sudah bertahan sampai sekarang..

(Aku menghela nafas dalam-dalam)

Mata ku berkaca-kaca saat ia menceritakan itu. Aku yang dalam masa self-loathing dan menahan untuk tidak self-harm ini merasa ceritanya men trigger ku.  Disela-sela ia menceritakan kehidupannya ia bertanya,

“Siapa yang tersakiti saat seseorang meninggal?”

“Yang meninggal, kan?” Jawab ku

“Orang yang tersakiti adalah orang yang masih hidup”

Aku terdiam seketika 


Lalu aku merasakan munculnya reka ulang ketika rasa kekesalan, marah, sedih dan kecewa ku lampiaskan pada diri sendiri,

Kepala bertemu dengan kerasnya tembok,

Kepala yang diadu dengan kedua tangan,

Needle yang digoreskan ke permukaan kulit,

Berteriak dan menangis dalam diam,

Kuku yang digoreskan ke wajah,

Kedua tangan yang menjambak rambut,

Seperti terulang lagi.


Pada saat ia menceritakan bagaimana dia struggling dengan permasalahannya. 

Aku berpikir “Apa jadinya kalau aku jadi dia? Mungkin aku tidak di dunia ini lagi”. 

Ia bilang bahwa dia tidak berekspektasi pada siapapun, karena tidak selalu penampilan atau gaya mencerminkan personality seseorang. Aku beranggapan bahwa hidupnya bebas, benar saja, orang tuanya tidak mengekang dan memberikan kebebasan padanya. Dia bebas berteman dengan siapapun, yang menurutku dari cerita-ceritanya memang berbanding terbalik dengan dunia pertemanan ku.


Ya itu tadi kayak yang awal-awal aku bilang, mungkin niat orang baik mau ngasih stimulan yang positif untuk kita. Cuma lupa untuk ngeliat perspektif yang lain.” Ucapnya.


Disitu aku ngahuleung tarik. Pisan.

Secara tidak sadar, kita sering memberikan semangat buat orang lain namun lupa perspektif orangnya juga. 


Aku tentu saja tidak tega, saat mendengar ia bercerita tentang saat bapaknya meninggal dunia, Fian yang berasal dari keluarga Jawa pun “dikuatkan untuk tidak menangis, karena laki-laki harus kuat” pada saat alm meninggal, dengan nada yang agak kesal ia menyebutkan bahwa itu adalah budaya patriarki dan mungkin lebih tepatnya seperti toxic masculinity. Aku pun meng”iya”kan, karena semua jenis perasaan seperti menangis, marah, kesal, kecewa, sedih dan lain-lain adalah perasaan yang lumrah juga manusiawi, tidak memandang gender atau jenis kelamin dan seharusnya tidak boleh dijudge. Pada saat itu ia tidak menangis, belum merasakan kehilangan namun ia berkata bahwa sempat dalam 3 bulan mengalami fase dimana ia makan menjadi hambar, sakit, sampai depresi berat.

Setelah kejadian itu, ia merasa biasa saja bila ada yang meninggal karena ia sudah merasakannya . 


Ketika aku sedang mencoba mengingat-ingat, merangkai kata dan mengetik apa yang ia katakan, aku seperti diajak berlari jauh dengannya, aku merasa lelah dan nafas agak sesak. Ada suara muncul di dasar ujung paling bawah hati bertanya apakah ini baik untuk diceritakan atau tidak, karena aku tau ini cerita yang sangat pribadi menurutku walau sering kali ku ulas di blog pribadi ku ini namun aku merasa ini lebih mendetail. Ada dilema yang terselip dalam penulisan ini, ada keinginan untuk encourage tentang kesehatan mental tapi disisi lain takut dibilang gila setelah ada yang membaca ini.


Banyak hal yang ingin kuceritakan karena aku mengambil banyak ilmu dari pengalaman hidupnya, namun itu saja sudah membuatku tersengal-sengal dibawanya lari untuk menyusuri betapa sulitnya pada saat itu. Teman dekat ku bilang bahwa aku adalah orang yang terlalu empati, benar saja hanya 1% cerita kehidupan dari Fian membuat ku menangis terisak-isak, membayangkan betapa sedih, sepi dan perih yang ia rasakan. 


Semoga Sang Pencipta selalu melindungi mu dan do’a terbaik untukmu.


 



Comments