Ayo kita ngobrol


Sepertinya sudah sering ku bahas mengenai bullying di blog pribadi yang sudah usang ini. “Stop Bullying”  tidak asing, bukan? Nampaknya sudah bosan dengan itu, namun seperti budaya yang mengakar sejak kecil dan yang salah yaitu ketika kita dengan santainya menganggap bullying merupakan hal yang wajar. Kenapa seperti itu? Seperti halnya kita melanggengkan kebiasan saling mengejek sejak kecil, “Ah namanya juga anak kecil, wajar kalo ledek-ledekan tuh” ujar seseorang yang tidak peduli dengan kesehatan mental anak tersebut. Bercandaan pun tidak boleh sampai menyakiti, ya.. Aku tau ketika kata “baper” itu ada, kepedulian terhadap perasaan orang lain itu menurun.


Aku percaya pada kalimat yang sangat idealis ini

“Orang terdekat adalah support system yang paling kuat”

Benar kata teman sekelas ku, aku terlalu idealis dan akhirnya menyusahkan diri sendiri. 

Aku selalu menginginkan lingkup keluarga yang sehat, namun setiap keluarga tidak pernah sempurna. Maksudnya sehat? Yang saling mendukung, merangkul dan menolong tapi kenyataannya pisau yang tertajam itu berasal dari orang terdekat.

Aku mengambil contoh ketika aku gagal dalam kuliah yang pertama, saudara-saudara kurang memberikan dukungan dan lebih dominan memberi apresiasi lebih pada saudara yang berprestasi. Aku hanya ingin pergi dari kumpul keluarga tersebut, merasa kecil dan tidak ada apa-apanya. 




Aku tumbuh di keluarga besar yang bisa dibilang kurang merangkul satu sama lain, sangat kaku, mungkin.. Karena terbiasa dengan pencapaian-pencapaian yang membutakan mata tanpa merasakan sisi perasaannya. Aku tega, bukan? Ini bukan demi bahan blog semata tapi ini adalah concern ku mengenai tempat aman di dalam lingkup keluarga. Sering kali dituntut agar menaikan rasa kebanggan tersendiri bagi pihak tertentu, namun lupa bahwa yang dituntut itu juga manusia. Sayang sekali aku baru bisa berpikir seperti ini, sayang sekali baru teredukasi lebih dalam mengenai kesehatan mental yang sangat penting, dan aku merasa terlambat baru bisa merangkul saudara-saudara kecil ku yang hatinya down ketika  kumpul keluarga.


Sewaktu kecil, aku merasa sangat kurang akrab dengan saudara yang lebih tua walaupun ada yang seumuran namun tetap saja merasa aku adalah saudari yang paling cengeng dan ga berprestasi. Aku selalu merasa minder dengan yang lainnya, merasa beda sendiri karena terlalu berekspektasi akan bersenang-senang ketika bertemu saudara lainnya tapi kenyataannya tidak.


Ah.. Saat kecil sudah merasa tidak nyaman dengan lingkup keluarga besar ini, entah karena aku yang berekspektasi tinggi atau aku yang masih kecil “belum mengerti”. 

Bukannya anak kecil hanya tau bermain saja ya? Ketika aku berlibur dengan saudara lainnya selalu merasa sedih tidak diajak bermain, ah.. Aku ga mau merasa seperti itu.

Bukannya anak kecil hanya tau bermain saja ya? Ketika berkumpul aku merasa berbeda dan teman-teman sekolah membenarkan itu dengan cara meledek.

Pada saat itu aku hanya bisa diam, kecil-kecil sudah overthinking. Apa karena aku cengeng? Berisik? Tubuh ini yang berbeda dari yang lain? Yang aku inginkan ketika berlibur adalah dirangkul dan diajak bermain. Yang ada hanyalah aku menangis tidak diajak bermain.


Aku pun tak luput dari kesalahan, pernah aku pun berlaku demikian dengan saudara yang lainnya. Maafkan aku karena aku sudah terpapar dengan kebiasaan seperti itu dan menjadikan “hal tersebut” adalah hal yang wajar. Dan aku sangat menyesali itu.

Aku pun kena tegur, lalu berproses untuk menerimanya.

Ternyata ada yang peduli juga kan?

Namun mengapa itu tidak terjadi pada ku saat kecil?

Pernah terpikirkan aku hanyalah “saudari yang lewat saja & tidak terlalu penting”


Dengan ilmu yang sedikit ini, kucoba memberanikan diri untuk ngobrol dengan saudara-saudara kecil ku mengenai sekolahan dan lingkungan pertemanannya. Aku pun juga harus memposisikan diri seperti seumuran mereka dan tidak mau menggurui mereka karena ingin lebih dekat. Ternyata asik juga, mengetahui tren anak muda jaman sekarang sudah berbeda dengan jaman ku, namun masih selalu ada yang tidak berubah dari jaman ke jaman..

Yaitu bullying.


Aku kaget ketika saudara-saudara ku mengalami hal yang sama seperti ku saat kecil, mereka dibully di sekolah dan dijauhi oleh teman-teman. Ternyata tidak berubah sama sekali. Aku merasa sedih, kenapa aku tidak dari dulu ada untuk mereka.. Setidaknya menjadi tempat keluh kesah. Mereka pun bingung, mereka harus cerita ke siapa dan mungkin merasa takut ceritanya akan dihakimi.


Mendengar bagaimana sulitnya mereka melalui bullying itu sendirian, mereka merasa kecil dan tersakiti tanpa ada tangan yang merangkul mereka. 

Ketika seusia mereka, aku pun pernah di bully baik secara verbal dan fisik. Mengingatnya sangat membuka luka lama..

Karena bullying membuatku tidak suka dengan tubuh ini, aku malu kalau keluar rumah, semua mata memandang ku aneh

Tak luput aku sering dipanggil “Gantar, taraje, tiang listrik, pocong” dan ledekan lainnya, walaupun bercanda.. Itu yang membuat image tubuh ini buruk di mata ku dan itu mengapa aku sangat tidak pede. Aku tau banyak yang menginginkan tubuh tinggi.. Namun apakah orang-orang yang berbicara seperti itu mengetahui bagaimana sulitnya tumbuh dengan fisik yang berbeda sejak kecil?

Sampai-sampai aku pernah ditendang punggung dari belakang, diludahi, isi tas sekolah dibongkar, sepatu dibuang ke tong sampah, rok aku ditarik ke atas, dilempar pasir dan kekerasan fisik lainnya.

Lalu pasti kamu bertanya, “Mengapa tidak melawan saja? Kan kamu tinggi”

Walau aku bertubuh tinggi, aku tidak berani dan pernah aku sangking kesalnya diledek terus menerus, aku pukul wajahnya 2x. Aku diam karena aku takut ketika melawan malah melukai orang lain, mungkin ibaratkan aku mengontrol itu seperti memiliki kyubi dalam tubuh ini.


Cerita mereka sangat relate dengan pengalaman ku dan merasa tidak berguna ketika bercerita mengenai itu kepada saudara karena hanya dianggap hal wajar saja. Menurut artikel yang aku baca bahwa hubungan saudara mempengaruhi kepribadian seseorang dan bisa membentuk kepribadian menjadi lebih baik atau buruk karena saudara merupakan teman pertama kita.



Aduh mengapa aku baru berani ngobrol dengan mereka? Apa iya harus nunggu umur kita “dewasa” dulu baru bisa merangkul saudara yang lainnya? 

Aku pun tak lupa untuk menghindari kalimat “toxic positivity”, seperti 

“Kamu gitu aja lemah, liat tuh yang lain bisa”

“Kok cengeng sih”

“Kok kamu diem aja? Bela diri dong”

“Segitu aja udah lemah, aku pernah yang lebih berat daripada kamu”

Itu beberapa kalimat yang “niatnya” untuk memotivasi namun malah bikin down.

Sering mendengar kalimat itu, bukan? Aku pun pernah melakukannya dan aku menyesal karena mengkerdilkan perasaan seseorang yang sedang bersedih padahal mereka hanya ingin didengarkan dan merasa aman untuk curhat.


Aku mulai suka ngobrol tentang isu terkini dengan saudara-saudara ku dan membuat mereka bercerita, ketika berkunjung.. aku memang memberikan waktu dan telingaku untuk mendengarkan curhatannya. Aku hanya ingin lebih dekat dan diterima oleh mereka, walau aku saudara namun menjadi teman mereka lebih asik.

Aku tidak mau menjudge apa yang mereka ceritakan kepada ku, itu akan membuat mereka sedih dan aku menghindari itu.


Aku ingin memutus rantai itu..

Aku ingin, akulah saudara terakhir yang merasa terkucilkan, tidak didengar dan tidak diajak bermain oleh saudaranya.

Aku ingin lebih akrab dengan saudara-saudara lainnya

Aku ingin merangkul dan dekat dengan mereka.

Dan ketika berkunjung tidak ada kecanggungan yang terjadi.

Ayo ngobrol, kita mulai dari mana?


Comments